Jumat, 18 Februari 2011

Petani, Nilai dan dimensi sosial


Inilah negeri yang sebagian besar mata pencarian penduduknya adalah beragraris, mengolah hasil lahan yang melimpah. Namun mirisnya para petani itu hanya sedikit yang bisa makmur sejahtera atas hasil kerjanya.
      Kondisi sekarang yang harga komoditas yang beranjak naik di permulaan tahun mulai dari beras sampai segala macam cabai menampilkan sebenarnya atas ketidakstabilan perekonomian pangan kita. Memang ini bukanlah kejadian yang peristiwa terjadi namun bagaimana sebenarnya kita tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya.
      Harga meninggkat dalam teori permintaan disebabkan tingginya permintaan masyarakat dengan stock yang tersedia kurang dan faktor-faktor lain mempengaruhinya. Teori ini hanyalah sebuah kekakuan berharap jika syarat-syaratnya terpenuhi, namun ekonomi bukanlah ilmu linier, yang setiap waktu berada di dalam garis lurusnya.
      Dibeberapa daerah di Indonesia terasa jelas, bahwa permintaan bukan lah yang menyebabkan harga komoditas pangan ini naik dengan stock yang mencukupi. Jika kondisi teori permintaan sebenarnya mengambarkan konsumen adalah pembuat harga (price maker), Kondisi ini sekarang terbalik menjadi penerima harga (price taker). Hal ini sebenarnya bisa membawa angin segar bagi petani namun kenyataannya, ya segentir petani saja yang merasakannya. Apa yang salah?
      Dalam dinamika perdagangan, para pedagang bisa mendapatkan keuntungan berlipat dari para produsen dengan resiko yang lebih rendah pula, karena perputaran barang/jasa (turn over)yang mereka lakukan lebih tinggi dari pada produsen. Mungkin inilah kadangkala ada petani yang merasakan mamfaat dari menjadi petani dikarenakan ia tidak hanya menjadi produsen namun ada keterlibatan dalam perdagangan.
      Sebagian besar petani disisi lain inilah yang hanya bertani adalah rutinitas, dengan hanya berharap untuk makan saja sudah terpenuhi, cukup berarti tidak ada sisa lebih. Hal inilah  apa yang disebut dalam bisnis hanya sebagai titik impas balik modal dengan pertumbuhan rendah. Sehingga kesempatan para petani untuk melakukan ekspansi bagian hulu maupun hilir terasa terhalang. Kesempatan hilangnya peluang (Opportunity Loss) pun  tercipta.
      Kesempatan belumlah berakhir, dan kesempatan ini akan datang di waktu lain walaupun tidak sama (history repeat itself). Disinilah peran seharusnya pemerintah mengakomodir penduduknya untuk bersiap-siap, sebenarnya pemerintah sudah mencoba meningkatkan produksi agraris melalui penyuluhan dan penelitian. Namun dengan hasil yang didapatnya memang belum lah dirasakan optimal dengan target swasembada di tahun ini dan itu. Seperti asumsi ekonomi yangcenteris paribus, hukum akan berjalan jika syaratnya terpenuhi. Apa yang dilakukan pemerintah sekarang ini diperlambat dengan kebijakan-kebijakan yang memberatkan petani. Paradoks memang, namun inilah aliran perekonomian yang sekarang bangsa ini jalankan “ekonomi campuran”, tentang ekonomi pasar dan peran pemerintah didalamnya.
      Pemerintah sebenarnya mempunyai cara lain untuk meningkatkan nilai dari agraris itu, yang secara langsung akan berdampak pada petani-petani. Yaitu dengan memaksimalkan pemberdayaan pasca panen. melatih manajemen pengolahan, manajemen pemasaran hingga manajemen pengunaan hasil penjualan untuk  investasi masa depan. Dampak hasil kombinasi ini akan meningkatkan nilai kuantitas dan kualitas pangan agraris Indonesia. Sehingga kedepannya mempunyai nama didunia.
      Dalam ilmu pemasaran ada bahasan tentang bagaimana seorang itu mendapatkan suatu produk, salah satunya dengan memproduksi sendiri (self production). Banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberdayakan pembelajaran tentang penghijauan, pemerintah bisa terlibat dengan LSM-LSM ini untuk menjadikan mitra atau menjadikan pertanian menjadi mata pelajaran wajib disekolah sebagai pembelajaran Mikro agraris dilahan yang sempit, sehingga self production agraris bisa memenuhi sebagian kecil kebutuhan dengan tidak terlalu tergantung padastock dipasar.
      Paling tidak cara-cara diatas adalah sebuah langkah alternative untuk meminimalkan dari effect teori Thomas Robert Maltus (1798) “bahwa penduduk cenderung bertumbuh secara tak terbatas hingga mencapai batas persediaan makanan”, tafsirnya kalau pertumbuhan penduduk lebih cepat dari pertumbuhan pangan, dengan kondisi harga komoditas pangan yang meninggkat, paling tidak petani bisa merasakan angin segar itu.
      Memang masih banyak tata kelola dan niaga dari agraris dinegara ini yang kurang, mulai dari sulitnya akses modal, permainan spekulan-spekulan hingga intervensi pihak-pihak besar terhadap harga pertanian (monopolistic). Intentitas orang yang paling banyak bersyukur adalah para petani. Tidak bagusnya hasil panen yang mereka peroleh tidak pernah menyalahkan Tuhannya. Mereka hanya manusia biasa, jika ada yang menekan mereka juga melawan. Dinamika inilah yang membuat manusia tidak bisa terpisah dari alam, begitupun pun juga hukum rimba siapa yang kuat dia yang bertahan, belumlah hilang.
      Saya membayangkan andai para petani melawan, dengan menjadi price maker. Maka bisa dibayangkan kalau pemerintah mengambil langkah untuk mengimpor hasil pertanian, petani rugi lalu beralih ke rutinitas lain. negeri dengan label agraris akan terhapus dalam buku pelajaran.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda