Sabtu, 25 Juni 2011

The Black Road: please remember what happened!

 
BLACK ROAD, Sutradara Willian Nessen (Australia, 2005, Dokumenter, 52 menit)
Sinopsis:  Jurnalis dan sutradara William Nessen membutuhkan waktu empat tahun untuk menyelesaikan film yang menceritakan perjuangan Aceh melepaskan diri dari Indonesia. Selama masa pembuatan film, William terperangkap ke dalam konflik yang berkepanjangan di Aceh. William harus menghadapi dilema untuk terus menjadi seorang pengawal yang netral di daerah berbahaya tersebut.
Film The Black Road ini di buat dalam rentang waktu yang sangat lama untuk sebuah produksi film dokumenter. Selama 3 tahun dalam rentang 2003 hingga 2005 film ini diselesaikan.
Jika anda melihat film ini, seakan anda berada dalam suatu kondisi peperangan yang nyata, seolah-olah anda berada di lokasi tersebut. Sang pembuat film ini memberanikan diri terjun ke garis depan konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Negara Indonesia (TNI). Tidak jarang, dia kerap terlibat dalam baku tembak antara Teuntra Neugara Acheh (TNA) dan TNI di hutan.
Dengan kamera di tangannya, William yang di akrab di sapa Billy ini merekam detik-detik letupan bedil antara dua belah serdadu yang tengah berperang.
Pada awal durasi film ini, Billy menceritakan perjalanan panjang proses konflik di Aceh. Di buka dengan reruntuhan pasca tsunami, perlahan film ini membawa para penontonnya untuk mengikuti alur konflik di Aceh. Kisah ketika pertama kali dia meliput di daerah ini juga tidak lupa di edit dalam film ini, perkenalannya dengan Brigjen Bambang Dharmono (ketika itu) Panglima Koops Daerah Militer NAD, dan Mayjen Syafrie Sjamsoeddin (ketika itu) Kapuspen TNI pada saat itu mengawali kisah seorang wartawan freelance ini di belantara hutan gerilya Aceh.
Film yang dibuat oleh Billy ini banyak diambil di wilayah konsentrasi GAM pantai barat dan selatan. Dengan pasukan yang dipimpin Pang Dani, Billy bersama dengan pasukan-pasukan Pang Dani ikut dalam operasi penyergapan dan penyerangan pasukan TNI dan Polri.
Dalam pembuatan film ini, Billy dibantu oleh seorang wartawan dari Jakarta asal Aceh, Sya'diah Syeh Marhaban (Shadia) namanya, janda dengan dua anak ini adalah wartawati salah satu televisi swasta di Jakarta. Pertemuan mereka terjadi pada tahun 2001, sejak saat itu mereka meliput konflik Aceh bersama. Ternyata, perjalanan peliputan itu diwarnai dengan asmara antara Billy dan Shadia. Hingga pada 8 November 2002 mereka memutuskan untuk menikah dengan adat Aceh. Dalam film ini, Billy tidak menjelaskan status agamanya ketika menikahi Shadia.
Sekitar lima menit dari durasi film ini, Billy menampilkan profil singkatnya. Bagaimana hubungnnya dengan Musliadi, salah satu aktivis HAM di Aceh yang begitu dekat, hingga ia sangat sedih ketika Musliadi mati di aniaya.
Bambang Darmono, seakan tidak percaya ketika Billy menanyakan kasus ini padanya. Bambang seperti disudutkan oleh Billy atas pertanyaan-pertanyaan terkait kematian Musliadi.
Juni 2003, tersiar kabar di telinga TNI bahwa GAM menyandera seorang wartawan asing. Wartawan tersebut tidak lain ialah William Nessen yang sedang melakukan reportase. TNI segera melakukan operasi pembebasan sandera, operasi tersebut berhasil. GAM meninggalkan Billy dalam kontak senjata antara GAM dan TNI. Hingga pada tanggal 24 Juni 2003 William Nessen di deportasi ke negara asalnya setelah ditahan selama 20 hari dalam proses interogasi.
Sekitar setengah durasi film, kita dibawa kesuatu gambaran Aceh pasca tsunami. William Nessen ternyata secara diam-diam masuk ke Aceh dan meliput tragedi tsunami di daerah ini
 ketika pergelaran Jakarta International Film Festival (JiFFest) tahun 2006   Film 'Black Road' termasuk yang dilarang.
 

Senin, 07 Maret 2011

Raja kuru oleh Yanusa Nugroho

Lampu minyak bergoyang perlahan, tersapu angin kemarau. Apinya berkebit-kebit, bahkan pada saat tertentu nyaris padam. Malam pekat di luar sana, namun juga sepekat kabut yang menyelimuti perasaan Duryudana.
Karna. Nama itu kini seakan menambah persoalan yang dihadapinya. Dulu, hanya Arjuna yang dikhawatirkannya akan merebut Surtikanti, namun setelah dilihatnya Surtikanti agak tak acuh pada Arjuna, Duryudana agak tenteram.
Piala anggur di tangan kirinya. Rambutnya kusut. Wajahnya keruh dimainkan cahaya api minyak. ”Suruh Togog kemari.” perintahnya dingin pada penjaga ruangan.
Sang penjaga segera undur dan beberapa saat kemudian kembali bersama seorang laki-laki tua, gemuk. Laki-laki itu membawa sebuah kotak, berisi sitar.
”Tuanku?” sapa si laki-laki gemuk dengan suara seperti terkulum oleh bentuk mulutnya yang tampak terlalu besar dibandingkan keseluruhan kepalanya. Sedemikian besar mulutnya sehingga seolah-olah orang hanya melihat wajah Togog Tejamantri hanyalah bibir yang bermata dan bertelinga.
Tanpa memandang kehadiran Togog, raja muda itu meneguk anggurnya. Lalu, ”Gog… apa yang bisa mengobati kekhawatiran hati manusia.”
Togog tertawa. Lalu jemarinya mulai memetik dawai-dawai sitar. Nada pun mendenting-denting.
”Kekhawatiran,” Togog tersenyum dan menggantung ucapannya sesaat. ”Ya…, perasaan takut kehilangan. Kehilangan karena kita merasa memiliki….”
”Apa ini sebuah permainan, Gog?”
”Permainan, tuanku?”
”Aku merasakan diriku dipermainkan.”
”Dipermainkan, tuanku?”
”Dia seperti melihat dan menimbang dengan kedua bola matanya sekaligus, yang anehnya masing-masing melihat sesuatu yang berbeda.”
”Ha-ha-ha-ha-ha… perasaan tuanku mengatakannya demikian, tetapi, menurut hamba….”
”Memang aneh, Gog, perasaanku ini…”
”Ha-ha-ha-ha… Mengapa tuanku tidak melihat dengan seribu mata?”
”Gog, jangan memberiku pertanyaan aneh. Hidupku sudah aneh.”
”Tuanku adalah raja segala raja. Lebih tinggi daripada Gunung Mahameru. Menjulang menggapai awan gemawan.. tentunya tuanku memiliki apa yang hamba maksudkan.”
”Gog…”
”Hamba, tuanku….”
”Menyanyilah….”
Togog tersenyum. Jemarinya menjentik-jentik nada-nada yang tersimpan pada setiap dawai sitar.
”Ada yang berkisah, tentang seorang lelaki resah…
hidupnya bergelimang harta dan mewah
bersama angin dia pergi, mencari sunyi
dengan kaki luka, dia menghancurkan keangkuhannya
berjalan menyeruak semak, seorang diri
mencari jalan menuju keabadian sejati
Tak ada lagi pintu untuk diketuk
Tak ada saudara untuk dijenguk
Dia abaikan istana, dialah Pa..”
”Berhenti sebentar.” Duryudana menabrak keheningan yang mengalir dari suara Togog.
Togog berhenti menembang. Jemarinya masih sesekali menjentik-jentik dawai. Nada merambat nyaring memenuhi sepi malam.
”Apa kau percaya pada perempuan?”
Togog tersenyum. Majikannya terbakar asmara. Putri dari Mandaraka itu memang jelita. Dan Togog tahu, siapa yang telah bertahta jauh di lubuk hati putri cantik itu.
Majikannya memang memiliki takhta kekuasaan gading, berbalut emas, namun tak mampu memindahkannya ke ruang paling dalam kehidupan Surtikanti. Menyakitkan, memang. Namun, itulah harga yang harus dibayar ketika manusia harus memilih.
”Hamba percaya, tuanku….”
”Mengapa?” Duryudana meneguk anggur, lalu menyambungnya, ”Apa yang membuatmu percaya?”
”Karena perempuan berkata dengan hatinya, tuanku.”
”Togog, jangan menyindirku….”
Togog diam, hanya tersenyum.
”Aku tahu, dia memilih Karna. Tetapi, bagaimana dengan aku? Mengapa dia memilih Karna. Apa hebatnya Karna? Bahkan, derajatnya pun aku yang memberinya. Kini, bahkan dia menjadi pembicaraan para prajurit. Namanya berkobar bagai api, siap menghanguskan rimba raya kejayaanku. Bangsat!” dan piala anggur itu dilemparkannya. Bergelontang benda yang sesaat lalu ditimang dan dipandangnya penuh kebanggaan itu. Menggema jauh suaranya, sesaat kemudian teredam sunyi.
Togog hanya diam. Dia hanya tersenyum dalam hati dan menjawab pertanyaan Duryudana dengan pertanyaan sederhana: mampukah kau, wahai anak Drestrarastra, berguru pada Parasu? Mampukah kau, wahai anak Gendari, berpisah dari kedua orangtuamu? Karna mampu menelan kenyataan paling pahit dalam hidupnya, dan karenanya dia layak menerima kemampuan itu. Dia bagai sebuah pedang yang terasah batu paling keras, sehingga layak mendapat ketajaman sehebat itu.
”Togog, apa kau pernah merasakan kepedihan seperti ini?”
”Tuanku.. tak ada obat untuk perasaan sakit seperti itu. Apakah tuanku pernah menyatakan perasaan tuanku pada Surtikanti….”
”Tentu saja.”
”Oh, tentu tuanku, tentu….”
”Tentu saja, dia seharusnya mengerti..”
”Ooh? Ha-ha-ha… ha-ha-ha…” dan seperti menirukan ucapan Duryudana Togog bergumam, ”dia seharusnya mengerti….”
”Diam, kau Togog.”
Namun, Togog malah terbahak-bahak. Duryudana tertunduk, kalah oleh gema suara Togog yang terasa jauh lebih tua daripada segala yang ada di ruangan itu.
”Tentu, seharusnya dia mengerti. haha-ha, Duryudana tuanku, junjunganku, tuanku seharusnya bicara sebagai Duryudana, bukan sebagai raja Hastina.
Karena sebagai raja, tuanku hanya memperoleh setangkup sembah. Tuanku adalah kekuasaan. Mana mungkin orang mampu bicara di depan kekuasaan?
Namun, bila tuanku bicara sebagai Duryudana, yang laki-laki biasa.. maka hatinya akan terbuka….”
”Ajari aku tentang itu,” ucap Duryudana lirih. Dikenakannya selimut kain untuk membungkus tubuhnya yang tiba-tiba terasa dingin.
Denting dawai mengisi sunyi. Menenangkan gelegak amarah. Suara Togog menggaung menembangkan kisah manusia yang bersedia ”menelanjangi” diri. Kisah seorang manusia bernama Palasara, yang mengembara, membuang semua kilau harta. Menjelajah lembah, menyeruak semak, membiarkan diri ditelan hutan. Dialah moyang keluarga besar Hastinapura.
Palasara manusia yang menghamba dan karena itu tak ingin memperhamba orang lain. Dia tolak singgasana dan memilih kegelapan gua-gua sebagai gantinya. Dia mencari keheningan nurani di jalan orang papa, dan menjauhi kehirukpikukan istana. Palasara mempersiapkan keabadian hidupnya, dan sedang berlatih menjalani kehidupannya kelak di alam kekal. Dan apalah arti hidupnya yang hanya terdiri dari darah, daging dan tulang-belulang ini, jika dengan meninggalkannya dia memperoleh hidup yang jauh lebih bermakna? Maka, wahai anak tertua bangsa Kuru, apalah arti seorang perempuan yang bahkan tak mengganggapmu ada, sedangkan Palasara dengan senang hati menyerahkan istri yang dicintainya kepada orang lain?
***
Belum lagi usai Togog mendendangkan tembangnya, dilihatnya Duryudana tertunduk. Dia menangis bagai anak kecil kehilangan mainan dan takut dimarahi ibu-bapaknya. Pundaknya terguncang-guncang, merasakan sakit yang menusuk ulu jiwanya.
Togog, manusia tua itu, berjalan mendekati rajanya. Kini dia adalah orangtua, yang jauh lebih memahami perasaan seorang anak kecil yang kini terendam kepedihan. Diusapnya kepala Duryudana, sebagaimana dulu ketika dia masih bocah. Di mata Togog, Duryudana tak lebih dari seorang bocah yang harus memikul beban terlalu berat. Harapan dan impian ibundanya, orang yang melahirkannya, terlalu besar. Di balik kegagahannya, Duryudana ternyata hanyalah bayangan, atau bahkan hanya sebuah telapak kaki bagi kehendak dan impian Gendari; ibundanya.
Telah untuk kedua kalinya raja muda itu mengalami kepahitan menghadapi perempuan. Dulu, ketika dia diam-diam dijodohkan dengan Erawati—putri tertua Prabu Salya, sebetulnya Duryudana kurang suka. Namun, karena Gendari mencengkeramkan kuku elangnya, dan Duryudana hanyalah seekor anak ayam, maka anak muda itu pun mengalah. Dia mencoba menyukai pilihan bundanya dan memang pada akhirnya dia merasa tertarik pada Erawati.
Erawati pun—sepengetahuan Togog, sebetulnya tak memiliki alasan untuk menolak Duryudana. Nyaris sempurna. Maka, hubungan diam-diam itu pun sebetulnya telah terjalin. Namun, setelah Duryudana mulai terbawa oleh perasaan kerinduannya pada Erawati—yang diam-diam dirindukannya lebih sebagai ibu daripada istri, tiba-tiba perkawinan itu batal begitu saja. Erawati dikawinkan dengan Kakrasana dari Mandura.
Maka dengan kepahitan yang serupa, Duryudana pun dipaksa menelan kenyataan, harus memilih Surtikanti—anak Prabu Salya yang nomor dua. Namun, kini, ketika semua bahkan sudah mengetahui secara gamblang hubungan keduanya, tiba-tiba muncul Karna. Dan Karna, seakan tak memandang sebelah mata pada Duryudana. Pesona dan kehebatan Karna memang tak bisa dilawan dengan harta dan kekuasaan.
Itulah sebabnya Togog merasa iba dengan anak muda yang kini menangis sesenggukan itu. Sejak kecil dia tak pernah diberi pilihan, dan hanya menjalani apa kata Gendari, yang dibantu Suman; adiknya. Duryudana tak bisa melihat pilihan lain. Otaknya seperti kosong dan hanya bisa melakukan sesuatu atas perintah dan petunjuk ibunya. Kakinya hanya melangkah manakala ibunya menyuruhnya melangkah. Sementara, mungkin, jauh di lubuk jiwanya, keinginan untuk memberontak itu sudah ada, hanya saja.. tak mungkin dia mampu mewujudkannya. Persoalan pelik itu terus bergulung-gulung di dalam jiwanya.
Kekhawatiran akan hilangnya Surtikanti dari tangannya, bukanlah semata-mata sebuah tamparan besar karena dia seorang raja. Kegagalan menyunting Surtikanti adalah sebuah tusukan telak bahwa dirinya bukanlah laki-laki yang layak mendapatkan cinta seorang perempuan. Inilah, yang di mata Togog, membuat Duryudana menangis merasakan kepedihannya.
”Tuanku.. ini sebuah pelajaran..” ucap Togog dengan suara parau. Ucapan yang keluar, setelah menyimak gemulung persoalan Duryudana.
”Tetapi, ini terlalu mahal…,” jawab Duryudana. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Togog, yang berdiri dengan ketuaannya.
”Tak ada pelajaran yang tak berharga, tuanku.”
Duryudana tegak perlahan, kemudian berjalan menuju jendela yang terbuka lebar, seakan ingin menghirup kekelaman malam beku di luar sana.
Raja bangsa Kurawa itu mencoba memandang jauh ke depan. Dibiarkannya kebekuan malam kemarau panjang itu berhembus menerpa kulitnya. Dongeng kuna tentang Raja Palasara yang mengembara, seakan memberinya kekuatan. Dulu dongeng itu diabaikannya karena baginya hanyalah sebuah isapan jempol. Dulu kisah itu dianggapnya sebagai upaya manusia untuk menutupi ketidakmampuannya mengurus kerajaan. Namun, kini, kisah itu sesungguhnya mengajarkan betapa besar kekuatan dan kekuasaan Palasara. Sedemikian besar dan kuatnya, sehingga Palasara mampu menentukan pilihan hidupnya. Palasara mampu menepiskan keakuannya, menjadikan dirinya sebagai humus, yang akan menyuburkan pertumbuhan anak cucunya di kelak kemudian hari..
Sementara Togog melantunkan sepenggal tembang:
[1] Ada lagi sebuah kisah tentang seorang raksasa
Menyiramkan darahnya sendiri bagi kebebasan negerinya…
[1] terjemahan bebas dari Serat Tripama.

Jumat, 18 Februari 2011

ROBOHNYA SURAU KAMI

INI adalah kisah clasis dari sebuah bab Novel karya Ali Akbar Navis (1956) yang sering didengar tapi jarang tau bentuk raup kisahnya.
--------

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggalah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tidak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang2-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakukan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebut pemimpin katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek akan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi, "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggoroknya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya kalau aku masih mudah, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. 'Alhamdulillah' kataku bila aku menerima karunia-Nya. 'Astagfirullah' kataku bila aku terkejut. 'Masya Allah', kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku. "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.


"Pada suatu waktu,' kata Ajo Sidi memulai, 'di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan 'selamat ketemu nanti'. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
'Engkau?'
'Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.'
'Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.'
'Ya, Tuhanku.'
'Apa kerjamu di dunia?'
'Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.'
'Lain?'
'Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.'
'Lain?'
'Segala tegah-Mu kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.'
'Lain?'
'Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.'
'Lain?'

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

'Lain lagi?' tanya Tuhan.
'Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.' Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: 'Tak ada lagi?'
'O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.'
'Lain?'
'Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu.'
'Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?'
'Ya, itulah semuanya, Tuhanku.'
'Masuk kamu.'
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

'Bagaimana Tuhan kita ini?' kata Haji Saleh kemudian, 'Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.'
'Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,' kata salah seorang di antaranya.
'Ini sungguh tidak adil.'
'Memang tidak adil,' kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
'Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.'
'Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.'
'Benar. Benar. Benar.' Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
'Kalau Tuhan tidak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?' suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
'Kita protes. Kita resolusikan,' kata Haji Saleh.
'Apa kita revolusikan juga?' tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
'Itu tergantung pada keadaan,' kata Haji Saleh. 'Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.'
'Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,' sebuah suara menyela.
'Setuju. Setuju. Setuju.' Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, 'Kalian mau apa?'
Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya: 'O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, memprogandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.'

'Kalian di dunia tinggal di mana?' tanya Tuhan.
'Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.'
'O, di negeri yang tanahnya subur itu?'
'Ya benarlah itu, Tuhanku.'
'Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?'
'Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.'
Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

'Di negeri di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?'
'Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.'
'Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?'
'Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.'
'Negeri yang lama diperbudak orang lain?'
'Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.'
'Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.'
'Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.'

'Engkau tetap rela melarat, bukan?'
'Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.'
'Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?'
'Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.'
'Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?
'Ada, Tuhanku.'
'Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!'

Semua pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
'Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?' tanya Haji Saleh.
'Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka kucar-kacir selamanya.

Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikitpun.' "


Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kaget.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,
"dan sekarang ke mana dia?"
"Kerja"
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."

Petani, Nilai dan dimensi sosial


Inilah negeri yang sebagian besar mata pencarian penduduknya adalah beragraris, mengolah hasil lahan yang melimpah. Namun mirisnya para petani itu hanya sedikit yang bisa makmur sejahtera atas hasil kerjanya.
      Kondisi sekarang yang harga komoditas yang beranjak naik di permulaan tahun mulai dari beras sampai segala macam cabai menampilkan sebenarnya atas ketidakstabilan perekonomian pangan kita. Memang ini bukanlah kejadian yang peristiwa terjadi namun bagaimana sebenarnya kita tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya.
      Harga meninggkat dalam teori permintaan disebabkan tingginya permintaan masyarakat dengan stock yang tersedia kurang dan faktor-faktor lain mempengaruhinya. Teori ini hanyalah sebuah kekakuan berharap jika syarat-syaratnya terpenuhi, namun ekonomi bukanlah ilmu linier, yang setiap waktu berada di dalam garis lurusnya.
      Dibeberapa daerah di Indonesia terasa jelas, bahwa permintaan bukan lah yang menyebabkan harga komoditas pangan ini naik dengan stock yang mencukupi. Jika kondisi teori permintaan sebenarnya mengambarkan konsumen adalah pembuat harga (price maker), Kondisi ini sekarang terbalik menjadi penerima harga (price taker). Hal ini sebenarnya bisa membawa angin segar bagi petani namun kenyataannya, ya segentir petani saja yang merasakannya. Apa yang salah?
      Dalam dinamika perdagangan, para pedagang bisa mendapatkan keuntungan berlipat dari para produsen dengan resiko yang lebih rendah pula, karena perputaran barang/jasa (turn over)yang mereka lakukan lebih tinggi dari pada produsen. Mungkin inilah kadangkala ada petani yang merasakan mamfaat dari menjadi petani dikarenakan ia tidak hanya menjadi produsen namun ada keterlibatan dalam perdagangan.
      Sebagian besar petani disisi lain inilah yang hanya bertani adalah rutinitas, dengan hanya berharap untuk makan saja sudah terpenuhi, cukup berarti tidak ada sisa lebih. Hal inilah  apa yang disebut dalam bisnis hanya sebagai titik impas balik modal dengan pertumbuhan rendah. Sehingga kesempatan para petani untuk melakukan ekspansi bagian hulu maupun hilir terasa terhalang. Kesempatan hilangnya peluang (Opportunity Loss) pun  tercipta.
      Kesempatan belumlah berakhir, dan kesempatan ini akan datang di waktu lain walaupun tidak sama (history repeat itself). Disinilah peran seharusnya pemerintah mengakomodir penduduknya untuk bersiap-siap, sebenarnya pemerintah sudah mencoba meningkatkan produksi agraris melalui penyuluhan dan penelitian. Namun dengan hasil yang didapatnya memang belum lah dirasakan optimal dengan target swasembada di tahun ini dan itu. Seperti asumsi ekonomi yangcenteris paribus, hukum akan berjalan jika syaratnya terpenuhi. Apa yang dilakukan pemerintah sekarang ini diperlambat dengan kebijakan-kebijakan yang memberatkan petani. Paradoks memang, namun inilah aliran perekonomian yang sekarang bangsa ini jalankan “ekonomi campuran”, tentang ekonomi pasar dan peran pemerintah didalamnya.
      Pemerintah sebenarnya mempunyai cara lain untuk meningkatkan nilai dari agraris itu, yang secara langsung akan berdampak pada petani-petani. Yaitu dengan memaksimalkan pemberdayaan pasca panen. melatih manajemen pengolahan, manajemen pemasaran hingga manajemen pengunaan hasil penjualan untuk  investasi masa depan. Dampak hasil kombinasi ini akan meningkatkan nilai kuantitas dan kualitas pangan agraris Indonesia. Sehingga kedepannya mempunyai nama didunia.
      Dalam ilmu pemasaran ada bahasan tentang bagaimana seorang itu mendapatkan suatu produk, salah satunya dengan memproduksi sendiri (self production). Banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberdayakan pembelajaran tentang penghijauan, pemerintah bisa terlibat dengan LSM-LSM ini untuk menjadikan mitra atau menjadikan pertanian menjadi mata pelajaran wajib disekolah sebagai pembelajaran Mikro agraris dilahan yang sempit, sehingga self production agraris bisa memenuhi sebagian kecil kebutuhan dengan tidak terlalu tergantung padastock dipasar.
      Paling tidak cara-cara diatas adalah sebuah langkah alternative untuk meminimalkan dari effect teori Thomas Robert Maltus (1798) “bahwa penduduk cenderung bertumbuh secara tak terbatas hingga mencapai batas persediaan makanan”, tafsirnya kalau pertumbuhan penduduk lebih cepat dari pertumbuhan pangan, dengan kondisi harga komoditas pangan yang meninggkat, paling tidak petani bisa merasakan angin segar itu.
      Memang masih banyak tata kelola dan niaga dari agraris dinegara ini yang kurang, mulai dari sulitnya akses modal, permainan spekulan-spekulan hingga intervensi pihak-pihak besar terhadap harga pertanian (monopolistic). Intentitas orang yang paling banyak bersyukur adalah para petani. Tidak bagusnya hasil panen yang mereka peroleh tidak pernah menyalahkan Tuhannya. Mereka hanya manusia biasa, jika ada yang menekan mereka juga melawan. Dinamika inilah yang membuat manusia tidak bisa terpisah dari alam, begitupun pun juga hukum rimba siapa yang kuat dia yang bertahan, belumlah hilang.
      Saya membayangkan andai para petani melawan, dengan menjadi price maker. Maka bisa dibayangkan kalau pemerintah mengambil langkah untuk mengimpor hasil pertanian, petani rugi lalu beralih ke rutinitas lain. negeri dengan label agraris akan terhapus dalam buku pelajaran.

Rabu, 16 Februari 2011

Victor Hugo: les miserables

 
TAHUN 1815. Dari penjara Bagne de Tulon, si terpidana No. 24601 Jean Valjean melarikan diri setelah hukuman 19 tahun karena mencuri sepotong roti. tak ada tujuan yang pasti, kecuali menjauh dan bersembunyi.

Takdir membuatnya bertemu dengan Monsinyur Myriel, seorang uskup yang seperti santo. namun ketidakadilan dan dendam membuatnya sak...it hati, dirmah sang Santo tak bertahan semalaman. ia pun mencuri, namun tertangkap oleh polisi.

kebaikan Monsier Myriel membuatnya terlepas, dan tersadar akan sebuah kesalahan. ia pun bertaubat. belajar pada sang Santo kebijaksanaan.

Jean sadar, ia tidaklah terlepas dari Hukuman. dengan KTP kuning sebagai tanda akan seorang status tahanan. ia pun berkelana. hingga menjadi seorang
walikota yang bijaksana dan dermawan dikota kecil, diluar paris. dengan nama Monsieur Madeleine.

kisahnya pun memasuki babak dari sebuah cerita yang memilukan, terharu saat-saat ia berjanji pada fatien, seorang wanita yang ditolongnya di kota ini. dikejar-kejar oleh inpektur polisi javert, hingga dia harus mengakui sosok dirinya didepan peradilan untuk menyelamatkan orang lain. sebuah kejujuran!

dia pun dihukum seumur Hidup, setelah tiga tahun ia pun kembali melarikan diri.
ia mengadopsi cosette, anak tak sah Fatien. itulah janjinya pada fatien. tetapi dia tidak bisa berdiam, Javert terus mengikutinya hingga ke paris. kota yang begitu kelam zaman revolusi, untuk sebuah demokrasi.

hingga dia dan cosette diselamatkan oleh seorang penjaga gereja, yang pernah diselamatkan oleh Jean saat menjadi walikota.penjaga itu berkata "oh..tuan, engkau terlalu banyak membantu orang, sampai engkau tak mengenal lagi orang yang telah engkau bantu"
KISAH berikut masuk kebabak baru dalam perjalanan nya, di paris anak angkat semata wayangnya, cosette. tumbuh dewasa dan menjaling cinta dengan Marius. serumit cinta mereka serumit pula Revolusi Perancis dijaman itu, Nyawa marius taruhan. namun dari sinilah ia mengenal sosok Jean yang sebenarnya. Javert sang "inspektur" pun sadar bahwa dia mengejar orang yang tak benar. Jean lah yang Benar. dia pun mengakhiri Hidupnya karena penyesalan. begitu juga Hubungan cosette dengan Marius berakhir dengan Pernikahan.
ketika saat terakhir jean hidup. dia tersenyum karena cosette menganggap dia adalah salah satunya Ayah yang cosette miliki. atas nama kebenaran, pengorbanan bukan sebuah kesalahan.

Senin, 14 Februari 2011

be start again !

kembali lagi, itu lah yang ingin kusapa kembali. dulu memang ada blog yang akhirnya tidak terurus, hasrat ingin menjalin silaturahmi, berbagi dan mengimprovisasi pemikiran. akhirnya terbenam dalam kesibukan sehari-hari yang tak urung pasti. benarlah kata orang tentang mengurus itu lebih sulit dari pada membuatnya, dari itulah judul post perdana dikesempatan yang lain ini adalah "be start again", tentang memulai hal yang baru, dengan semangat yang berbeda. dan bumbu cerita yang kita berharap pula berbeda pula. mari kita mulai. dengan doa kepada yang Kuasa. be start again. let'start!

Label: